FLORA

Cemara (Casuarinaceae)

Suku cemara-cemaraan atau Casuarinaceae meliputi sekitar 70 jenis tetumbuhan. Sebagian besar suku ini terdapat di Belahan Bumi Selatan, terutama di wilayah tropis Dunia Lama, termasuk Indo-Malaysia, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Cemara sendiri merupakan tetumbuhan hijau abadi yang sepintas lalu dapat disangka sebagai tusam karena rantingnya yang beruas pada dahan besar kelihatan seperti jarum, dan buahnya mirip runjung kecil.

Namun kenyataannya pepohonan ini bukan termasuk Gymnospermae, sehingga mempunyai bunga, baik jantan maupun betina. Bunga betinanya tampak seperti berkas rambut, kecil dan kemerah-merahan.

The tribe of cypresses or Casuarinaceae includes about 70 types of plants. Most of these tribes are found in the Southern Hemisphere, especially in the tropics of the Old World, including Indo-Malaysia, Australia and the Pacific Islands. The pine itself is an evergreen plant that at first glance might be mistaken for a thorn because of its twigs

which extends to a large branch that looks like a needle, and the fruit is like a small cone.

But in reality these trees are not considered Gymnosperms, so they have flowers, both male and female. The female flower looks like a tuft of hair, small and reddish.

Ericaceae-(Vaccinium varingiaefolium)

Ericaceae-(Vaccinium varingiaefolium) Perdu atau pohon kecil yang selalu terrestrial, sering berbentuk sapu, kebanyakan benjol-benjol dan bengkok, tinggi hingga 10 m; diameter batang hingga 50 cm. Kayu sangat keras. Daun panjang 2.5-6 cm, lebar 1-2.5 cm. Buah buni dapat dimakan        tetapi agak hambar.

Di seluruh Jawa di atas 1350 m, terutama banyak pada 1800-3340 m, penyusun utama hutan elfin dan lumut, pada punggung bukit, lereng, dan puncak. Dominansi spesies ini mudah terlihat bila daun muda merona merah di hutan puncak. Bersama Rhododendron retusum, Myrsine, paku Histiopteris incisa, Selligna (Pleopeltis) dan Dianella javanica merupakan tumbuhan yang tahan terhadap asap belerang dan tanah kawah beracun. Juga di Malaya, Sumatera, dan Bali.

Ericaceae– (Vaccinium varingiaefolium) Always terrestrial shrub or small tree, often broom-shaped, mostly lumpy and bent, up to 10 m high; stem diameter up to 50 cm. Very hard wood. Leaves 2.5-6 cm long, 1-2.5 cm wide. Buni fruit is edible but a bit bland.

Throughout Java above 1350 m, especially many at 1800-3340 m, the main constituent of elfin and moss forests, on ridges, slopes and peaks.

The dominance of this species is easily seen when the young leaves turn red in the peak forest. Together with Rhododendron retusum, Myrsine, Histiopteris incisa, Selligna (Pleopeltis) and Dianella javanica nails are plants that are resistant to sulfur fumes and poisonous crater soil. Also in Malaya, Sumatra and Bali.

Kopi Arabika (Coffea arabica)

Kopi Arabika (Coffea arabica) diduga pertama kali diklasifikasikan oleh seorang ilmuan Swedia bernama Carl Linnaeus (Carl von Linné) pada tahun 1753. Jenis Kopi yang memiliki kandungan kafeina sebasar 0.8-1.4% ini awalnya berasal dari Brasil dan Etiopia. Arabika atau Coffea arabica merupakan Spesies kopi pertama yang ditemukan dan dibudidayakan manusia hingga sekarang. Kopi arabika tumbuh di daerah di ketinggian 700–1700 m dpl dengan suhu 16-20 °C, beriklim kering tiga bulan secara berturut-turut. Jenis kopi arabika sangat rentan terhadap serangan penyakit karat daun Hemileia vastatrix (HV), terutama bila ditanam di daerah dengan elevasi kurang dari 700 m, sehingga dari segi perawatan dan pembudayaan kopi arabika memang butuh perhatian lebih dibanding kopi Robusta atau jenis kopi lainnya. Kopi arabika saat ini telah menguasai sebagian besar pasar kopi dunia dan harganya jauh lebih tinggi daripada jenis kopi lainnya. Di Indonesia kita dapat menemukan sebagian besar perkebunan kopi arabika di daerah pegunungan toraja, Sumatra Utara, Aceh dan di beberapa daerah di pulau Jawa. Beberapa varietas kopi arabika memang sedang banyak dikembangkan di Indonesia antara lain kopi arabica jenis Abesinia, arabika jenis Pasumah, Marago, Typica dan kopi arabika Congensis.

Varietas biji kopi arabica jenis Typica ini merupakan varietas pertama yang masuk ke Indonesia. Pertama kali dibawa oleh Belanda ketika datang ke Indonesia. Namun varietas asli Typica yang dibawa oleh Belanda ini kemudian punah ketika Coffee Leaf Rust menyerang Indonesia. Untungnya tidak semua punah, karena masih ada varietas Typica lokal yaitu Bergendal dan Sidikalang yang banyak di temui di dataran tinggi seperti Sumatera, Sulawesi, dan Flores. Biasa berkolasi di perkebunan yang berada di daerah terpencil.

Arabica coffee (Coffea arabica) is thought to have been first classified by a Swedish scientist named Carl Linnaeus (Carl von Linné) in 1753. This type of coffee which has a caffeine content of 0.8-1.4% originally came from Brazil and Ethiopia. Arabica or Coffea arabica is the first coffee species found and cultivated by humans until now. Arabica coffee grows in areas at an altitude of 700–1700 m above sea level with temperatures of 16-20 ° C, dry climates for three consecutive months. Arabica coffee types are very susceptible to the attack of Hemileia vastatrix (HV) leaf rust disease, especially when planted in areas with an elevation of less than 700 m, so that in terms of care and cultivation, Arabica coffee does need more attention than Robusta coffee or other types of coffee. Arabica coffee currently controls most of the world coffee market and the price is much higher than other types of coffee. In Indonesia we can find most of the Arabica coffee plantations in the mountainous regions of Toraja, North Sumatra, Aceh and in several areas on the island of Java.

Several varieties of Arabica coffee are being developed in Indonesia, including Abesinian arabica, Pasumah, Marago, Typica and Congensis arabica coffee. This type of Typica arabica coffee bean is the first variety to enter Indonesia. The first time it was brought by the Dutch when it came to Indonesia. However, the original variety of Typica brought by the Dutch later became extinct when Coffee Leaf Rust attacked Indonesia. Fortunately, not all of them are extinct, because there are still local Typica varieties, namely Bergendal and Sidikalang, which are often found in the highlands such as Sumatra, Sulawesi and Flores. Usually live in a plantation in remote areas.

Anaphalis javanica

Anaphalis javanica, yang dikenal secara populer sebagai Edelweiss jawa (Javanese edelweiss) atau Bunga Senduro, adalah tumbuhan endemik zona alpina/montana di berbagai pegunungan tinggi Nusantara.[1] Tumbuhan ini dapat mencapai ketinggian 8 meter dan dapat memiliki batang sebesar kaki manusia walaupun umumnya tidak melebihi 1 meter. Tumbuhan ini sekarang dikategorikan sebagai langka.

Edelweis merupakan tumbuhan pelopor bagi tanah vulkanik muda di hutan pegunungan dan mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya di atas tanah yang tandus, karena mampu membentuk mikoriza dengan jamur tanah tertentu yang secara efektif memperluas kawasan yang dijangkau oleh akar-akarnya dan meningkatkan efisiensi dalam mencari zat hara. Bunga-bunganya, yang biasanya muncul di antara bulan April dan Agustus[1], sangat disukai oleh serangga, lebih dari 300 jenis serangga seperti kutu, tirip, kupu-kupu, lalat, tabuhan, dan lebah terlihat mengunjunginya.

Anaphalis javanica (“Javanese Edelweiss”) dijual oleh warga Bromo setelah diberi warna.

Jika tumbuhan ini cabang-cabangnya dibiarkan tumbuh cukup kokoh, edelweis dapat menjadi tempat bersarang bagi burung tiung batu licik Myophonus glaucinus. Bagian-bagian edelweis sering dipetik dan dibawa turun dari gunung untuk alasan-alasan estetis dan spiritual, atau sekadar kenang-kenangan oleh para pendaki. Pada bulan Februari hingga Oktober 1988, terdapat 636 batang yang tercatat telah diambil dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang merupakan salah satu tempat perlindungan terakhir tumbuhan ini. Dalam batas tertentu dan sepanjang hanya potongan-potongan kecil yang dipetik, tekanan ini dapat ditoleransi. Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tumbuhan ini dinyatakan punah.

Sayangnya keserakahan serta harapan-harapan yang salah telah mengorbankan banyak populasi, terutama populasi yang terletak di jalan-jalan setapak. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa edelweis dapat diperbanyak dengan mudah melalui pemotongan cabang-cabangnya. Oleh karena itu potongan-potongan itu mungkin dapat dijual kepada pengunjung untuk mengurangi tekanan terhadap populasi liar.

Salah satu tempat terbaik untuk melihat edelweis adalah di Tegal Alun (Gunung Papandayan), Alun- Alun Surya Kencana (Gunung Gede), Alun-Alun Mandalawangi (Gunung Pangrango), dan Plawangan Sembalun (Gunung Rinjani).

Anaphalis javanica, popularly known as Javanese edelweiss (Javanese edelweiss) or Senduro flowers, are endemic to the alpine / montane zones in the high mountains of the archipelago. This plant can reach a height of 8 meters and can have a trunk as big as a human foot, although generally it does not exceed 1 meter.

This plant is now categorized as rare. Edelweiss is a pioneer plant for young volcanic soils in mountain forests and is able to maintain its survival on barren soils, because it is able to form mycorrhizae with certain soil fungi that effectively expand the area covered by its roots and increase efficiency in finding nutrients. The flowers, which usually appear between April and August [1], are very popular with insects, with more than 300 types of insects such as fleas, hornets, butterflies, flies, wasps and bees seen visiting them. Anaphalis javanica (“Javanese Edelweiss”) is sold by Bromo residents after being colored.

If this plant has allowed its branches to grow firm enough, the edelweiss can become a nesting site for the crafty stone tiung Myophonus glaucinus. Parts of edelweiss are often picked and brought down from the mountain for aesthetic and spiritual reasons, or simply as a memento by climbers. From February to October 1988, 636 stems were recorded to have been taken from the Mount Gede Pangrango National Park, which is one of the last shelters of this plant. To some extent and as long as only small pieces are picked, this pressure can be tolerated. In Bromo Tengger Semeru National Park, this plant is declared extinct.

Unfortunately greed and false hopes have taken the toll of many populations, especially those on the trails. Research that has been done shows that edelweiss can be reproduced easily by cutting the branches. It may therefore be possible to sell these scraps to visitors to reduce pressure on wild populations. One of the best places to see edelweiss is at Tegal Alun (Mount Papandayan), Surya Kencana Square (Mount Gede), Mandalawangi Square Mount Pangrango), and Plawangan Sembalun (Mount Rinjani).

Kontak

Views: 12