Puter Kayun merupakan tradisi yang dilakukan warga Boyolangu, saat memasuki hari ke sepuluh, Bulan Syawal. Puter kayun adalah ritual menapati janji warga Boyolangu kepada para leluhur yang telah berjasa membuka jalan di kawasan utara Banyuwangi. Mereka melakukan napak tilas dengan menaiki delman hias dari Boyolangu menuju Watu Dodol.
Tradisi naik delman hias ini, digelar dari depan kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Minggu pagi (25/7).
Pagi itu, warga dari berbagai perkampungan di Boyolangu telah berkumpul di depan kelurahan sambil menaiki delman-delman hias layaknya andong wisata. Sambil berdandan khas Using, yakni mengenakan pakaian adat serba hitam dan udeng. Tak lupa memakai kaca mata hitam, mereka duduk di dalam delman dan siap melakukan ritual puter kayun menuju Watudodol.
Sedikitnya ada 20 delman hias yang akan melakukan tradisi ini. Di dalam delman penuh berbagai perbekalan untuk dibuka saat tiba di watu dodol. Mereka tampak semangat mengikuti tradisi yang sudah bertahun-tahun ini. Salah satunya, Baiturrohman (33). Dia mengaku sudah sejak kecil mengikuti tradisi ini. Bahkan dia tak pernah absen ikut naik delman ini, karena menurutnya itu bukti ketaatan pada leluhur.
“Ini ritual wajib dan harus diikuti. Tradisi ini kan ini menyenangkan, bisa pergi ke watudodol rame-rame naik dokar. Apalagi saat di sana nanti kita gelar selamatan itu sangat menyenangkan,” katanya.
Puter Kayun kali ini dibuka oleh Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia (SDM) Sudjani. Dalam kesempatan itu, Sudjani mengatakan bahwa tradisi yang masuk agenda wisata Banyuwangi Festival (B-Fest) ini berasal dari masyarakat yang tumbuh dari bawah. Tradisi yang unik ini, lanjut dia, bisa menjadi identitas masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah daerah akan terus mendukung dan mewadahi agar kelestariannya tetap dapat dipertahankan.
“Banyuwangi festival akan konsisten mengangkat tradisi lokal masyarakat setempat, termasuk tradisi Puter Kayun Boyolangu ini. Selain untuk menjaga tradisi dan ritual yang ada, ini juga sebagai cara untuk menumbuhkan banyak obyek atraksi wisata di Banyuwangi,” ujarnya.
Sudjani pun menambahkan, begitu menariknya tradisi ini juga akan jadi tema Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) 2018 ini.
Selanjutnya, Sudjani bersama pejabat komponen daerah lainnya memecah kendi sebagai tanda dimulainya tradisi Puter Kayun. Disusul warga yang beramai-ramai menaiki dokar.
Sementara itu, Ketua Panitia Muhammad Ikrom menambahkan, tradisi ini terus digelar sebagai napak tilas jejak Ki Buyut Jakso, leluhur warga Boyolangu yang dipercaya sebagai orang yang pertama kali membangun jalan di kawasan utara Banyuwangi.
Sejarah Puter Kayun
"Konon, saat membuka jalan di sebelah utara, Belanda meminta bantuan pada Ki Buyut Jakso karena bagian utara ada gundukan gunung yang tidak bisa dibongkar. Ki Jakso lalu bersemedi dan tinggal di Gunung Silangu yang sekarang jadi Boyolangu. Atas kesaktiannya, akhirnya dia bisa membuka jalan tersebut sehingga wilayah itu diberi nama Watu Dodol, yang artinya watu didodol (dibongkar)," ujar Ketua panitia Puter Kayun, Mohamad Ikrom,.
Sejak itu, lanjut Ikrom, Ki Buyut Jakso berpesan agar anak cucu keturunannya harus berkunjung ke Pantai Watu Dodol untuk melakukan napak tilas apa yang telah dilakukannya.
"Karena saat itu hampir semua masyarakat Boyolangu berprofesi sebagai kusir dokar, maka mereka mengendarai dokar untuk napak tilasnya,” ujarnya.
Setelah sampai Watu Dodol, mereka menggelar selamatan. Sebagian tokoh adat juga menaburkan bunga berbagai rupa ke laut untuk menghormati para pendahulu mereka yang meninggal saat pembuatan jalan.
Sebelum pelaksanaan puter kayun, tradisi ini diawali sejumlah ritual. Dimulai dari nyekar ke makam Buyut Jakso dan tradisi kupat sewu (seribu ketupat) yang digelar tiga hari sebelum puter kayun dan pertunjukan barong pada malam puter kayun.