Situs Macan Putih

Situs Macan Putih dulunya merupakan sebuah hutan bernama Sudimara yang dibabat untuk dijadikan ibu kota kerajaan Blambangan masa pemerintahan rajanya yang ke-8, yaitu Danureja yang berjuluk Prabu Tawangalun II (1655-1691). Prabu Tawang Alun II inilah yang membawa Blambangan pada masa puncak kejayaannya lepas dari kungkungan Mataram dan Bali. Berdasarkan penelitian arkeologis tahun 2012, pemukiman di Macan Putih dibangun pasca erupsi Gunung Raung karena terdapat sedimentasi abu vulkanik setebal 10 cm. Nama Macan Putih didasarkan pada kepercayaan masyarakat bahwa dalam perjalanannya dari Petilasan Rowo Bayu menuju Situs Macan Putih Prabu Tawang Alun didampingi oleh seekor Macan Putih. Berdasarkan hasil ekskavasi di Situs Macan Putih masih dapat ditemui 1) struktur bata yang diduga kuat merupakan tembok ibukota Kerajaan dengan prakiraan luas 2,5 km persegi, 2) bekas kanal, 3) lokasi ngaben Raja Tawang Alun beserta 271 dari 400 istrinya yang ikut sati terbesar di Nusantara bahkan di India, 4) artefak berupa tulang hewan, fragmen keramik dari Eropa dan Cina, serta berbagai gerabah, dan 5) Bangunan utama Candi Macan Putih terbuat dari batu gamping dan diduga kuat mirip dengan Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah karena berbentuk punden berundak dan digunakan oleh masyarakat ketika itu untuk tempat pemujaan kepada Siwa. Dalam konteks sejarah lokal, Situs Macan Putih merupakan situs penting dalam sejarah kerajaan Blambangan karena sumber sejarah tentang masa pemerintahan Tawangalun II sangat minim terkait dengan tidak adanya kontak dengan bangsa asing. Sementara itu, Situs Macan Putih memiliki nilai penting pula jika dikaitkan dengan masa Hindu-Budha di Indonesia dalam mengungkap pola pemukiman penduduk kota klasik di Nusantara karena Kerajaan Blambangan yang berdiri pada abad 14 M mengalami kemunduran pada abad 18 karena pengaruh Islam dan kolonial.

The Macan Putih site was once a forest named Sudimara which was cleared to become the capital of the Blambangan kingdom during the reign of its 8th king, namely Danureja who was nicknamed Prabu Tawangalun II (1655-1691). It was Prabu Tawang Alun II who brought Blambangan at its peak of glory free from the confines of Mataram and Bali. Based on archaeological research in 2012, the settlement in the White Tiger was built after the eruption of Mount Raung because there was volcanic ash sedimentation as thick as 10 cm. The name Macan Putih is based on the public belief that on his way from Petilasan Rowo Bayu to the Macan Putih Site, Prabu Tawang Alun was accompanied by a Macan Putih. Based on the results of excavations at the Macan Putih Site, it is still possible to find 1) a brick structure which is strongly suspected to be the wall of the Royal capital with an estimated area of ??2.5 km², 2) a former canal, 3) the location of the Ngaben Raja Tawang Alun and 271 of his 400 wives who attended the ceremony. largest in the archipelago and even in India, 4) artifacts in the form of animal bones, ceramic fragments from Europe and China, as well as various pottery, and 5) The main building of the Macan Putih Temple is made of limestone and is strongly suspected to be similar to the Sukuh Temple in Karanganyar, Central Java because shaped punden terraces and used by the community at that time for a place of worship to Shiva. In the context of local history, the Macan Putih Site is an important site in the history of the Blambangan kingdom because historical sources regarding the reign of Tawangalun II are very minimal related to the absence of contact with foreign nations. Meanwhile, the White Tiger Site also has an important value if it is associated with the Hindu-Buddhist period in Indonesia in revealing the settlement patterns of classical urban dwellers in the archipelago because the Blambangan Kingdom which was founded in the 14th century AD experienced a decline in the 18th century due to Islamic and colonial influences.

Kontak

Views: 183