Intangible Heritage - Tari Gandrung

GANDRUNG Tari gandrung merupakan kesenian tari tradisional asli Banyuwangi, sebuah kota yang berada di ujung jawa timur. Gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan. Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibu para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20. Filosofi Tari gandrung juga merupakan sebuah ritual yang ditujukan untuk mengungkapkan kekaguman masyarakat Banyuwangi pada Dewi Sri, seorang dewi yang dalam mitologi Hindu Jawa Kuno dianggap sebagai Dewi Padi atau Dewi kesejahteraan yang telah memberikan hasil panen berlimpah pada masyarakat. Gerakan Tari Gandrung Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian yaitu jejer, maju atau ngibing dan seblang subuh Jejer Bagian pertama disebut sebagai jejer. Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo. Maju Babak pertengahan disebut dengan istilah maju atau ngibing. Pada babak ini para penari mulai bergerak menarikan tarian seraya memainkan selendangnya. Para penari akan bergerak seperti jalan pelan maju sambil menggerak- gerakkan selendang dengan kepala juga bergerak seperti geleng-geleng. Seblang subuh Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Gerakan yang dominan pada seblang subuh adalah gerak perlahan yang penuh penghayatan. Kipas yang dibawa penari akan dimainkan pada babak Seblang Subuh. Tata Busana Penari Gandrung Bagian Tubuh Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu. Bagian Kepala Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Anthasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Bagian Bawah Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya. Properti Tari Properti paling utama dalam tari gandrung ada 2, yaitu selendang (sampur) dan kipas. Di masa silam, kipas yang digunakan berjumlah 2 dan dipegang di tangan kiri dan kanan. Namun, setelah mengalami beberapa arasemen seringkali tarian ini hanya dilengkapi dengan 1 kipas saja, itupun hanya digunakan pada bagian tertentu dalam tarian, khususnya pada bagian seblang subuh. Kedudukan Tari Gandrung Sekarang Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi dengan bukti jika melewati perbatasan Banyuwangi-Jember terdapat patung Gandrung dan disudut lainnya. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat. Tari Gandrung semakin dikenal masyarakat Indonesia setelah diundang untuk memeriahkan peringatan hari sumpah pemuda di Istana dan hari ulang tahun RI agustus lalu.

GANDRUNG Tari Gandrung is a traditional dance art from Banyuwangi, a city located at the end of East Java. Gandrung was danced for the first time by men who were dressed like women. However, the male gandrung dance did completely disappear in 1914, after the death of its last dancer, Marsan. According to a number of sources, Gandrung's birth was intended to entertain forest cleavers, to accompany a ceremony to ask for safety, related to haunted forest clearing. At first gandrung could only be danced by the descendants of gandrung dancers, but since the 1970s there have been many young girls who are not of gandrung descent who learn this dance and make it a source of livelihood in addition to maintaining its existence which has become increasingly pressed since the end of the 20th century. Philosophy Tari Gandrung is also a ritual aimed at expressing the admiration of the Banyuwangi people for Dewi Sri, a goddess who in ancient Javanese Hindu mythology is considered the Goddess of Rice or the Goddess of welfare who has provided abundant harvests to the community. Gandrung Dance Movement The original Gandrung show was divided into three parts, namely jejer, maju or ngibing and seblang subuh Jejer The first part is called jejer. This section is the opening of all gandrung performances. In this section, the dancer sings several songs and dances solo. Maju The middle stage is called maju or ngibing. In this stage the dancers begin to dance while playing the shawl. The dancers will move like a slow walk forward while moving the shawl with their heads also moving like shaking their heads. Seblang Subuh This section is the closing of the entire series of Banyuwangi gandrung performances. The dominant movement before dawn is slow, devotional motion. The fan brought by the dancer will be played in the Seblang Subuh round. Tari Gandrung Clothing Parts of body Clothing for the body consists of clothes made of black velvet decorated with golden yellow ornaments, and shiny beads in the shape of a bottle neck wrapped around the neck to the chest, while the shoulders and half of the back are left open. In the neck area are attached by ilat-ilatan that cover the middle of the chest and to decorate the upper part. Each of the arms is decorated with a kelat bahu and the waist is decorated with a belt and sembong and is decorated with colorful fabrics to sweeten it. Shawls are always worn on the shoulders. Head Section The head is decorated with a crown-like decoration called an omprok made of tanned buffalo skin and decorated with gold and red ornaments and decorated with the figure of Anthasena, the son of Bima who has a giant human head but has the body of a snake and covers all the dancers' hair. Furthermore, the crown is given a silver ornament which functions to make the dancer's face appear oval, and there is an additional flower ornament called a cundhuk mentul on it. Low part Gandrung dancers use batik cloth with various patterns. However, the batik pattern that is most widely used and has a special characteristic is batik with an gajah oling pattern, a botanical pattern with an elephant's trunk on a white cloth which is the hallmark of Banyuwangi. Prior to the 1930s, the gandrung dancer did not wear socks, but since that decade, the dancer always wore white socks in every show. Dance Properties There are 2 main properties in the tari Gandrung, namely the shawl (sampur) and the fan. In the past, there were 2 fans used and held in the left and right hands. However, after experiencing several arrangements, this dance is often only equipped with 1 fan, and even then it is only used in certain parts of the dance, especially in the part seblang subuh. The Current Position of Tari Gandrung Tari Gandrung has officially become the mascot of Banyuwangi tourism with evidence that if you cross the Banyuwangi-Jember border there is a Gandrung statue and another corner. The Banyuwangi Regency Government has also initiated a promotion of gandrung to be staged in several places such as Surabaya, Jakarta, Hong Kong, and several cities in the United States. Tari Gandrung is increasingly recognized by the Indonesian public after being invited to celebrate the commemoration of the Youth Pledge Day at the Palace and Indonesia's birthday last August. In addition, since the government of the Regent Abdullah Azwar Anas, the Banyuwangi district government has also scheduled the Tari Gandrung Sewu festival every year. As a Traditional Using Tourism Village, it should be appropriate if the lifestyle of its citizens still survives the customs of their

Kontak

Views: 138